Connect with us

Investigasi

‘Jerit Tangis’ Dibalik Pabrik Semen Terbesar Dunia – Indocement (Bag.3)

Published

on

kasus indocement 3

Persoalan dugaan tanah warga yang dikuasai PT. Indocement Tunggal Prakarsa, memang multi konflik. Rumit, njilmet, kusut, dan entah apalagi sebutannya.

Yang jelas, hingga puluhan tahun tidak pernah terselesaikan sampai tuntas. Bahkan, beberapa warga yang merasa berhak telah meninggal dunia dimakan usia. Beribu kekecewaan, harus dibawa kealam baka.

Baca berita sebelumnya:

Bagaimana bisa seperti itu? Berikut penelusuran Garuda Citizen saat berbincang dengan H. Ndin dan Endang di Desa Lulut yang kami sebut sebagai sumber.

H. Ndin salah satu tokoh masyarakat yang ikut dalam tim perjuangan menuntut Indocement

H. Ndin salah satu tokoh masyarakat yang ikut dalam tim perjuangan menuntut Indocement

Mari kita lihat salah satu konflik persengketaan diwilayah Blok Pasir Kores di Desa Lulut Kecamatan Klapanunggal.

Menurut Sumber, masyarakat seperti sengaja dibuat pusing. Sementara pihak Indocement terus berjalan mengeruk kekayaan alam di desanya.

Dikatakannya, masyarakat memang dikalahkan dalam persidangan. Namun pihaknya tahu, ada yang salah dalam hal ini. Benar, mereka tidak begitu mengerti peraturan hukum. Namun, sangat tahu pasti, bahwa areal tanah yang dikuasai Indocement tersebut adalah hak mereka.

Pernah pada tahun 2003, dibuat sebuah tim untuk memperjuangkan hak warga yang tanahnya dikuasai oleh pihak Indocement. Tim tersebut kemudian mempertanyakan status tanah warga. Namun oleh pihak Indocement, disuruh bertanya langsung ke Pemerintah daerah Kabupaten Bogor.

“Saat itu, kami terus mendesak kejelasan nasib warga. Bahkan melakukan demo besar-besaran ke Pemda. Membawa massa hingga ratusan orang,” ungkap Sumber mengenang pahitnya perjuangan menuntut keadilan.

Hasil dari demo tersebut, tanggal 28 Maret 2003 Sekretariat Daerah Kabupaten Bogor membentuk tim dari berbagai dinas instansi terkait. Guna, penanganan masalah tanah Blok Pasir Kores antara PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk, dengan warga masyarkat.

Hasil kerja tim bentukan Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor, disimpulkan dari ratusan hektar tanah yang diklaim warga, dinyatakan yang wajib dibayar oleh pihak Indocement cuma  37,8 hektar.

Akan tetapi, ternyata itu pun tidak ada realisasi sama sekali. Dan pemda tidak memerintahkan pihak Indocement untuk membayar, melainkan menyediakan lawyers untuk menuntut Indocement. Dimana dalam hal ini, agar tanah warga seluas 37,8 hektar dibayar.

“Awalnya, kami sudah cukup gembira. Merasa ada keberpihakan pemerintah terhadap nasib warga,” ungkap Sumber.

Dan ironisnya, setelah proses persidangan panjang dan melelahkan, warga tetap harus menerima kenyataan pahit. Lawyers yang disediakan oleh Pemda seolah tidak berkutik menghadapi perusahaan raksasa tersebut.

Heni Warga Lulut Kasus Indocement

Heni (60) warga desa Lulut Kecamatan Klapa Nunggal – Bogor. Hanya bisa menangis menyaksikan tanahnya dikuasai PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk

Dikatakan Sumber, saat itu warga hanya bisa meratap. Ketika membaca berbagai putusan sidang, yang seolah panggung sandiwara itu. Katanya, walau pada halaman pertama dengan huruf yang ditebalkan tertulis ‘DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”, pihaknya merasa keadilan itu begitu mahal dan tak terjangkau.

Masyarakat akhirnya, putus asa. Lelah, sedih dan kehabisan biaya untuk berjuang. Terakhir setelah mendapat putusan dari Mahkamah Agung pada tahun 2006 dimana menolak permohonan kasasi dari lawyers bentukan Pemerintah Daerah itu.

“Warga hanya menangis di rumah masing-masing. Dan berharap, keperihan itu dapat hilang seiring dengan waktu,” ujar Sumber.

Sidang Yang Janggal di Kasus Indocement:

Dari proses pejalanan sidang untuk memperjuangkan hak warga atas tanah yang dikuasai PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk. Ada banyak kejanggalan yang ditemui. Bahkan, ada indikasi hal itu dilakukan hanya untuk mengulur waktu dan membuat warga putus asa.

Bagaimana tidak, sejak hasil cross check bentukan Pemda Bogor tahun 2003. Kendati membuktikan setidaknya 37,8 hektar tanah warga mesti dibayar oleh Indocement, namun tidak ada aksi nyata. Cuma menyediakan lawyers dimana kemudian setelah menghabiskan waktu hingga tahun 2006 hanya untuk dikalahkan dipersidangan.

Seharusnya, Pemda bisa bersikap tegas. Seperti memerintahkan pihak Indocement untuk segera menyelesaikan dengan warga.

Persoalan berikutnya yang juga harus menjadi kajian adalah, kebijakan pihak BPN yang telah mengeluarkan sertifikat dengan ‘tergopoh-gopoh’. Tanpa terlebih dahulu melakukan kross check dilapangan. Akhirnya, menimbulkan konflik berkepanjangan.

Tidak hanya itu, menurut Ndang, salinan putusan siding sendiri terlihat janggal. Contoh, Surat Putusan Sela dan Putusan Nomor: 34/Pdt.G/2004/PN.Cbn, yang dikeluarkan  Pengadilan Negeri Cibinong. Salinan yang ia terima, kendati ditandatangani lengkap oleh para Hakim namun tidak ada stempel Pengadilan bersangkutan.

Keanehan kembali terjadi pada putusan sidang di Pengadilan Negeri Bandung dalam mengadili perkara Perdata tingkat banding. Salinan Putusan No. 11/Pdt/2005/PT.BDG, yang diterima, bahkan tidak ada tandatangan sama sekali. Baik Hakim Ketua Majelis, Hakim Anggota, maupun Panitera. Dan parahnya, putusan ini dibuat dalam sebuah sidang tanpa dihadiri oleh kedua belah pihak yang berperkara.

Disini, terkesan Lawyers bentukan Pemda Bogor memang tidak serius untuk memperjuangkan hak warga. Dan yang kedua, sangat parah, dimana letak kekuatan hukum Putusan yang tidak ditandatangani itu.

Belum sampai hanya disitu, pada tingkat Kasasi di Mahkamah Agung pun terkesan aneh! Dari salinan Putusan No.1140 K/Pdt/2006 yang diterima, juga dibuat dari hasil sidang tanpa dihadiri oleh para pihak. Baik tergugat maupun penggugat. Dan lagi-lagi tidak ditandatangani oleh para Hakim.

putusan pengadilan kasus indocement 3

“Kami rakyat kecil seperti tinggal di negeri tidak bertuan. Kami seolah tenggelam dalam lumpur dan tak ada sesuatu yang dapat menjadi pegangan. Terendam tanpa bisa bersuara,” ujar H. Ndin dengan nada lirih.

Dikatakan H. Ndin, dalam kasus tersebut, rakyat merasa tidak punya Negara. Tidak punya Hakim, tidak punya Bupati, Gubernur, dan Presiden.

Pada bagian akhir obrolannya, H. Ndin berkata, warga sudah tidak berani berharap banyak dengan Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat. Cuma, setiap kali Indonesia ganti Presiden, kami berharap salah satunya mau mendengar jeritan kami. Termasuk Pak Jokowi yang sekarang.

“Umur saya saat ini 75 tahun. Saya tidak tahu, apakah disisa umur ini bisa merasakan keadilan itu atau tidak,” ujar H. Ndin.

Blogger dan SEO Expert di Garuda Website. Sebuah perusahaan Web Developer di Jakarta Indonesia

Daerah

Anak Bupati Benteng Kecelakaan di Tol, 2 Temannya Meninggal

Published

on

Anak Bupati Benteng Kecelakaan di Tol, 2 Temannya Meninggal

Garudacitizen.com – Anak laki-laki Bupati Bengkulu Tengah (Benteng), Provinsi Bengkulu, Feri Ramli, yang bernama Michael Ferly, mengalami kecelakaan beruntun di jalan Tol Padaleunyi kilometer 132 B kawasan Cimahi, Senin (12/8/2019).

Insiden terjadi sekitar pukul 02.00 WIB. Akibat kecelakaan tersebut, dikabarkan dua orang teman Ferly yakni, Irfan Hermansyah (29) dan Erwin (23) yang berada di dalam mobil toyota Fortuner dikendarainya Ferly meninggal.

“Memang benar ada kecelakaan yang melibatkan mobil Fortuner Nopol BG 1572 EL yang dikendarai Michael Ferly,”kata Dirlantas Polda Jawa Barat Kombes M. Aris saat dikonfirmasikan oleh awak media.

Lanjut Aris, kecelakaan bermula saat Ferly dan dua orang rekannya mengendarai mobil Toyota Fortuner berwarna hitam. Ferly yang duduk di bangku kemudi, melaju dari arah timur menuju ke barat.

“Setiba di TKP, pengemudi diduga kurang antisipasi sehingga menabrak kendaraan truk. Selanjutnya Fortuner tertabrak kendaraan Terios,”kata Aris.

Atas Kejadian tersebut, dua orang meninggal dunia dan tiga orang dalam keadaan selamat. Tiga orang itu pertama (Ferly) pengemudi kendaraan Fortuner, kedua (Tata Sonjaya) pengemudi Terios dan yang ketiga atas nama Neti (31) tahun. (Red)

Continue Reading

Daerah

“Terdeteksi” Ada Persekongkolan Pada Program Pisew Semelako II

Published

on

By

“Terdeteksi” ada persekongkolan pada Program Pisew Semelako II

Lebong, GC – Ada begitu banyak persoalan di Program PISEW desa Semelako II, Kecamatan Lebong Tengah, Kabupaten Lebong. Di tahun anggaran 2017, pernah di lapor LSM ke-aparat penegak hukum. Dan statusnya, masih terus berjalan dalam proses penyelidikan. Namun, anehnya, pada tahun anggaran 2018, desa ini, lagi-lagi dikucurkan program serupa.

Program PISEW (Pengembangan Infrastruktur Sosial Ekonomi Wilayah), dianggarkan pemerintah, melalui Kementrian Pekerjaan Umum Direktorat Jendral Cipta Karya. Satuan Kerja Pengembangan Kawasan Pemukiman Provinsi Bengkulu. Melalui BKAD Lebong Tengah.

Anggaran dana program PISEW tahun 2017, di desa Semelako, digunakan untuk pembangunan jalan lingkungan. Berupa rabat beton.  

Karena ada dugaan penyimpangan, oleh LSM Aliansi Indonesia Cabang Lebong, di laporkan pada aparat penegak hukum. Ada pun yang disorot oleh Lembaga swadaya masyarat tersebut, yakni soal kualitas fisik proyek yang terkesan dikerjakan asal jadi.

Seperti, item pekerjaan rabat beton. Dimana dikerjakan tidak menggunakan molen. Tidak hanya itu, material yang digunakan pun, tidak sesuai dengan standar pengecoran. Yakni menggunakan batu-batu berukuran besar. Padahal seharusnya, menggunakan batu kerikil/batu pecah.

“Seharusnya, koral atau batu pecah untuk pengecoran, dalam kondisi bersih. Namun dilapangan, yang terlihat tidak begitu,” ujar Edi Sulahakbar, pada wartawan (21/01/2019).

Selain itu, pada pekerjaan badan jalan, tidak dibentuk dengan baik. Sebagai salah satu contoh yang paling ‘mencolok’, batu-batu besar terlihat menonjol. Hal ini terjadi karena, saat pembangunan tidak dilakukan pembersihan terlebih dahulu.

“Pihak pelaksana proyek, langsung melakukan pengecoran. Walau pun di permukaan badan jalan, terdapat batu-batu berukuran besar. Hasilnya, pekerjaan tidak terlihat rapi. Dan yang jelas, kualitasnya patut dipertanyakan,” papar Edi.

Menurut Edi, pembangunan jalan tersebut, juga melintasi areal persawahan warga. Disini, pondasi badan jalan, diduga keras tidak ada. Pihak pelaksana langsung melakukan pengecoran. Sehingga, dalam waktu singkat badan jalan mengalami keretakan cukup serius.

Sepertinya, pihak pelaksana proyek, ingin mengambil keuntungan yang sebesar-besarnya. Tanpa memperdulikan kualitas pekerjaan. Pada item pekerjaan penyiraman asphalt di permukaan badan jalan, juga dikerjakan asal-asalan.

“Asphalt yang digunakan sangat minim,” kata Edi.

Program PISEW Kembali Dianggarkan di Tahun Anggaran 2018

Entah, apakah pihak pengawasa dari Pemerintahan Kabupaten Lebong kurang pengawasan. Dan atau, memang ada ‘kongkalingkong’. Kendati pada pelaksanaan program PISEW di tahun anggaran 2017, ‘amburadul’, dan telah dilaporkan ke aparat penegak hukum, namun di TA 2018, kembali di kucurkan program serupa.

Menurut Edi, ini sebenarnya cukup janggal. Dan perlu adanya keseriusan setiap pihak. Dalam memantau proses pelaksanaan penggunaan proyek-proyek, yang menggunakan uang negara.

Bagaimana tidak, lanjut Edi, pada pelaksanaan program PISEW di TA 2018, berbagai dugaan penyimpangan kembali terjadi.  

Salah satu contohnya, pada penggunaan material. Pihak pelaksana proyek menggunakan material yang berada di lokasi kegiatan.

Menurut Edi, dalam hal ini, pihak pelaksana proyek, yakni Kepala Desa Semelako II, beralasan, penggunaan material dari lokasi proyek tidak banyak. Hanya sekitar 50 meter kubik. Itu terjadi karena membantu masyarat desa.

Dalam hal ini, Irwan rekan Edi dari LSM Aliansi Indonesia berpendapat, alibi yang digunakan Kepala Desa tersebut tidak tepat. Seharusnya, sebagaimana di dalam aturan, Bumi, Air , Batu merupakan kekayaan milik Negara. Maka pemanfaatannya pun harus mengikuti aturan yang sudah di atur oleh Negara. Logikanya, penggunaan material yang di ambil dari lokasi sekitar, jelas tidak menggunakan Izin Galin C. Sehingga, secara otomatis jelas merugikan pihak yang membuat izin pertambangan gailian C.

Continue Reading

Daerah

Proyek PIC Graha Samali Rejang Lebong di Jaksel, Sepertinya Bermasalah

Published

on

By

Proyek PIC Graha Samali Rejang Lebong di Jaksel, Sepertinya Bermasalah

Jakarta Selatan, GC – Proyek rehabilitasi Gedung Information Centre (PIC), milik Pemerintah Daerah Kabupaten Rejang Lebong (RL), nampaknya menyimpan persoalan cukup pelik. Gedung yang juga disebut Graha Samali tersebut, memang memiliki catatan sejarah panjang.

Identitas proyek PIC

Proyek tersebut, berada di Jalan H. Samali Nomor 31 B RT/004 RW/004 Kelurahan Kalibata, Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan. Dalam kontrak, proses renovasi dimulai bulan Oktober 2018. Namun, persoalannya, sampai saat ini, terakhir wartawan Garuda Citizen ke lokasi, belum selesai dikerjakan.

Padahal, seharusnya pertanggal 31 Desember 2018, sudah selesai. Sementara, menurut informasi dilapangan, proses perpanjangan waktu pekerajaan atau addendum, masih dalam tahap proses pengajuan.

Bupati Rejang Lebong, Ir. H. Ahmad Hijazi, SH, sendiri tidak puas dengan kinerja kontraktor. Bahkan, menurut informasi salah satu petugas dari pihak pengelola Graha Samali, bupati sempat marah-marah. Saat melakukan kunjungan kelokasi proyek.  

“Rehabilitasi Gedung, tidak sesuai dengan ekspektasi, beliau (bupati, red). Dan itu nampaknya, membuat bupati marah,” ujar sumber dilapangan.

Disisi lain, bupati juga mengkritisi beberapa item pekerjaan. Seperti diantaranya, soal luas kamar yang di bangun, terlalu besar. Ini akan membuat para PNS dari rejang Lebong, yang menginap akan berat membayar sewa kamar.Tidak hanya itu, AC yang digunakan untuk pendingin ruangan, berkapasitas 2 pk. Dan ini terlalu besar jika dibanding dengan ruangan itu sendiri.

“Ini pemborosan, begitu kata pak bupati waktu itu,” lanjur sumber.

Sementara itu, kontraktor ketika diminta keteranganya, mengaku masih menunggu kebijakan dari Pemda terkait proyek. (IBNU)

Continue Reading

Trending