Connect with us

Nasional

Korban-korban Skandal Freeport Indonesia

Published

on

Korban-korban Skandal Freeport Indonesia

Gunung emas Papua memang memiliki magnet luar biasa. Dan bukan hal mudah untuk menolak godaan hasil tambang bernilai fantastis disana. PT Freeport Indonesia mencatatkan produksi emas sebesar 255.000 ons troi (t oz) sepanjang Kuartal-I 2015. Dan pada tahun ini Freeport akan mendapatkan kuota ekspor sebanyak 1,16 juta ton, atau 580.000 ton hingga Juli lalu.

Jadi, jika ada berbagai dugaan skandal menyelimuti keberadaan PT. Freeport di Indonesia bagian timur itu, jelas memiliki alasan kuat.

PT Freeport Indonesia yang merupakan perusahaan afiliasi dari Freeport-McMoRan perusahaan tambang internasional utama dengan kantor pusat di Phoenix, Arizona, Amerika Serikat. Dari berbagai pemberitaan, perusahan tambang ini memiliki kuku yang sangat kuat mencengkram Indonesia.

Tidak hanya itu, siapa pun yang berupaya menghalang apalagi menentang Freeport dalam aksinya, disebut-sebut akan mengalami nasib buruk.

JFK dan Soekarno Korban Freeport?

Dalam sebuah statemennya, Wakil Presiden RI ke-7, Drs. H. Muhammad Jusuf Kalla, mengatakan, kasus Freeport merupakan skandal terbesar dalam sejarah Indonesia. Kendati substansi ungkapan ini terkait pencatutan nama dirinya bersama Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) dalam rencana perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia, namun secara global pun bisa jadi ada benarnya.

Setidaknya hal itu tercermin dari beberapa kasus sebelumnya. Bahkan, dalam sebuah pemberitaan yang dilansir merdeka.com, kematian John Fitzgerald Kennedy (JFK), Presiden Amerika Serikat (AS) ke-35 dan lengsernya Presiden RI, Soekarno, dikait-kaitkan dengan upaya Freeport menguasai tambang emas Papua.

Kenapa begitu?

Sebagaimana dikutif dari merdeka.com, John Fitzgerald Kennedy (JFK), presiden Amerika Serikat ke-35 ini merupakan sahabat dekat Soekarno. Kedua pemimpin ini cocok bergaul. Hubungan Indonesia dan AS yang sempat renggang pada masa presiden Eisenhower, kembali membaik saat Kennedy berkuasa.

Saat Soekarno datang ke AS, Kennedy menyambutnya dengan hangat. Bahkan Kennedy memberi Soekarno kenang-kenangan sebuah helikopter. Kennedy pun berjanji akan mengunjungi Indonesia tahun 1964. Soekarno begitu gembira melihat tawaran persahabatan dari JFK.

Soekarno bahkan membangun sebuah paviliun khusus di Istana Negara. Bangunan itu rencananya akan dijadikan tempat Kennedy menginap saat di Jakarta. Sayang, Kennedy tak pernah menempati bangunan itu.

Presiden Kennedy tewas ditembak pada 22 November 1963. Berakhirlah hidup politikus cerdas itu. Kematian Kennedy masih menjadi misteri hingga saat ini.

“Kennedy berpikiran progresif. Ketika aku membicarakan masalah bantuan kami, dia mengerti. Dia setuju. Seandainya Presiden Kennedy masih hidup tentu kedua negara tak akan berseberangan sejauh ini,” kata Soekarno menyesali tragedi ini dalam biografinya yang ditulis Cindy Adams.

Sebagian pihak menilai pembunuhan Kennedy penuh nuansa politis. Apa hubungan Kennedy dengan penggalian emas PT Freeport?

Lisa Pease membeberkan hal itu dalam artikel berjudul ‘JFK, Indonesia, CIA, and Freeport’ di majalah Probe tahun 1996. Tulisan ini juga disimpan dalam National Archive di Washington DC.

Freeport ternyata sudah lama mengincar Papua. Tahun 1959, perusahaan Freeport Sulphur nyaris bangkrut karena tambang mereka di Kuba dinasionalisasi oleh Fidel Castro. Dalam artikel itu disebut berkali-kali CEO Freeport Sulphur merencanakan upaya pembunuhan terhadap Castro, namun berkali-kali pula menemui kegagalan.

Di tengah kondisi perusahaan yang terancam hancur itu pada Agustus 1959, Forbes Wilson yang menjabat sebagai Direktur Freeport Sulphur menemui Direktur Pelaksana East Borneo Company, Jan van Gruisen.

Gruisen bercerita dirinya menemukan laporan penelitian di Gunung Ersberg (Gunung Tembaga) di Irian Barat yang ditulis Jean Jaques Dozy di tahun 1936. Disebutkan tembaga di gunung ini tak perlu susah-susah digali. Ibarat kata tinggal meraup, karena tembaga berada di atas tanah.

Wilson tertarik dan mulai mengadakan survei ke Papua. Dia setengah gila kegirangan karena menemukan gunung itu tak hanya berisi tembaga tapi emas! Ya, dia menemukan gunung emas di Papua.

Tahun 1960, suasana di Papua tegang. Soekarno berusaha merebut Papua dari Belanda lewat operasi militer yang diberi nama Trikora. Freeport yang mau menjalin kerjasama dengan Belanda lewat East Borneo Company pun belingsatan. Kalau Papua jatuh ke Indonesia bisa runyam urusannya. Mereka jelas tak mau kehilangan gunung emas itu.

Wilson disebutkan berusaha meminta bantuan John F Kennedy. Tapi si Presiden AS itu malah kelihatan mendukung Soekarno. John pula yang mengirimkan adiknya Bob Kennedy untuk menekan pemerintah Belanda agar tak mempertahankan Papua. JFK juga yang mengancam Belanda akan menghentikan bantuan Marshall Plan jika ngotot mempertahankan Irian Barat. Belanda yang saat itu memerlukan bantuan dana segar untuk membangun kembali negerinya dari puing-puing kehancuran akibat Perang Dunia II, terpaksa menurut.

Agaknya Belanda pun tak tahu ada gunung emas di Papua sehingga mereka menurut saja disuruh mundur oleh AS.

Kontrak Freeport pun buyar. Apalagi Soekarno selalu menolak perusahaan asing menancapkan kaki mereka di Papua. Pada perusahaan minyak asing yang sudah kadung beroperasi di Riau, Soekarno meminta jatah 60 persen untuk rakyat Indonesia.

Kekesalan mereka bertambah, Kennedy akan menyiapkan paket bantuan ekonomi kepada Indonesia sebesar 11 juta AS dengan melibatkan IMF dan Bank Dunia.

Sebutir peluru menghentikan langkah Kennedy. Kebijakan pengganti Kennedy langsung bertolak belakang. Indonesia pun makin jauh dari AS dan semakin mesra dengan Blok Timur yang berbau komunis.

Tragedi September 1965 menghancurkan Soekarno. Dia yang keras menolak modal asing, digantikan Soeharto.

Setelah dilantik, Soeharto segera meneken pengesahan Undang-undang Penanaman Modal Asing pada 1967. Freepot menjadi perusahaan asing pertama yang kontraknya ditandatangani Soeharto.

Ironisnya, pemerintah Indonesia hanya dapat jatah 1 persen. Kontras sekali dengan apa yang diperjuangkan Soekarno.

Kalau JFK dan Soekarno masih ada, tak akan ada Freeport di Papua.

Gusdur Presiden RI ke-4 Tumbang, Korban Skandal Freeport

Bisnis Freeport dalam mengeruk kekayaan alam Indonesia memiliki kekuatan yang maha dasyat. Gerakan mereka bak mafia. Mulai dari lobi-lobi dengan, sogok, intimidasi, hingga menguasai arus politik tingkat tinggi.

Keganasan Freepot juga pernah dialami Presiden RI ke-4 Almarhum Abdurrahman Wahid (Gus Dur) semasa masih menjabat. Seperti dilansir portal berita online www.rmol.co, dimana Gus Dur pernah mendapat ancaman berbentuk intimidasi atau menakut-nakuti.

Peristiwa pada bulan Maret tahun 2000 silam tersebut diceritakan Adhie M. Massardi, yang saat itu menjadi Juru Bicara Presiden.

Saat itu, kata Adhie, bekas Menteri Luar Negeri Amerika Serikat yang kemudian menjadi Komisaris PT Freeport, Henry Kissinger datang menemui Gus Dur di Istana.

“Dia datang dan menyampaikan intimidasi kepada Gus Dur. Intinya agar mau perpanjang Kontrak Karya Freeport. Kissinger bilang ke Gus Dur jika Indonesia tidak hormati Kontrak Karya yang dibuat di zaman Soeharto, maka tak akan ada investor yang datang ke Indonesia,” ungkap Adhie.

Tapi, Gus Dur melawan dan menegaskan tidak akan menggadaikan masa depan Papua. Pasalnya, kata Adhie, Gus Dur saat itu punya policy untuk melakukan moratorium tehadap Kontrak Karya baru yang berkaitan dengan sumber daya alam. Selain itu Gus Dur juga mengeluarkan kebijakan meninjau kembali Kontrak Karya yang pernah dibuat di zaman rezim Soeharto.

“Gus Dur soalnya tahu semua Kontrak Karya yang dilakukan di zaman Soeharto banyak menyimpang dari UU dan merugikan rakyat Indonesia,” tambah Adhie, yang juga Koordinator Gerakan Indonesia Bersih (GIB) ini.

Pasca intimidasi itu, Gus Dur pun meminta Menteri Koordinator Perekonomian saat itu, Rizal Ramli, untuk tegas melakukan renegosiasi kontrak terhadap Freeport. Gus Dur dan Rizal Ramli bisa berani melakukan renegosiasi karena pemerintah punya standing moral yang kuat dibanding zaman Soeharto.

“Dulu zaman Soeharto Indonesia dinilai tidak setaraf Amerika Serikat. Mereka (Freeport) sudah tahu isi kandungan di Timika. Dulu namanya bukan Timika, tapi Tembaga Pura. Itu dinamain oleh Freeport. Indonesia tidak tahu ada tembaga disana jadi kita mudah dikelabui,” jelas Adhie.

Gus Dur pun dulu mendapatkan sinyal, jika Freeport marah akibat sikapnya itu. Selain soal renegosiasi, Freeport juga marah karena Gus Dur mengusulkan Ketua Lembaga Musyawarah Adat Suku Amungme Papua, Tombenal, untuk menjadi Komisaris Freeport. Freeport jelas menolak karena Tombenal terkenal keras dan selalu melawan perusahaan asal Amerika Serikat itu akibat limbah yang dibuang ke wilayahnya.

Adhie membaca akibat Freeport marah, diam-diam perushaan milik James Moffet itu melakukan gerilya secara diam-diam menemui politisi yang bercokol di parlemen Senayan saat itu. Upaya penghasutan dan adu domba pun mulai dilakukan demi melawan Gus Dur.

“Sejak itulah, mulai muncul perlawanan keras dari parlemen yang berakhir dengan pemakzulan pada Gus Dur. Saya yakin otak dibalik pemakzulan itu ya pasca proses renegoisasi yang gagal dengan Freeport dan perusahaan-perusahaan migas asing soal moratorium itu,” beber Adhie.

Adhi mengaku bukan tanpa dasar mengeluarkan tudingan ini. Menurutnya, pasca Gus Dur lengser banyak politisi-politisi di Indonesia yang memberikan upeti, termasuk dari pemerintahan baru saat itu. Upeti itu berupa UU Migas yang berisi liberasiliasi perusahaan tambang dan migas. Upeti kedua yakni amandemen UUD 1945 yang sangat liberal dan menguntungkan asing.

“Itulah dua kado besar untuk Freeport dan perusahaan asing atas jasanya untuk bantu politisi di Indonesia yang bantu lengserkan Gus Dur,” kata Adhie.

Bak gayung bersambut, Freeport dan perusahaan asing saat itu membalas memberikan upeti pada politisi saat itu. Antara lain berupa jabatan komisaris di perushaan mereka.

“Mau ngeles gimana coba kalau begitu? Gus Dur lengser bulan Juli, empat bulan kemudian bulan November 2001 UU itu keluar semua, setahun kemudian 2002 amandemen UUD 1945,” beber Adhie, yang juga dikenal sebagai penyair ini.

Atas fakta tersebut, Adhie pun berpesan pada Presiden Joko Widodo untuk tidak takut akan cerita tersebut. Jokowi harus berani melawan karena situasi politik saat ini mendukung dan kuat, baik dari rakyat maupun jajaran dibawahnya.

“Rakyat sudah tahu gimana parahnya kelakuan perusahaan asing di Indonesia. Pak Jokowi jangan takut,” demikian Adhie.

Garuda Citizen truly of Indonesia » politik, hukum, sosial, wisata, budaya, dan berbagai berita peristiwa menarik dan penting untuk dibaca.