Connect with us

Berita

Target Rp10,5 Miliar Rawan Kebocoran PAD, Pajak Listrik Rejang Lebong Jadi Sorotan

Published

on

Pajak Listrik Rejang Lebong

Rejang Lebong, Garuda Citizen – Penerimaan PAD Rejang Lebong 2025 dari PBJT listrik diproyeksikan mencapai Rp10,5 miliar. Namun, realisasi baru 58 persen hingga September. DPRD mengingatkan risiko kebocoran dan meminta PLN ULP Curup lebih transparan dalam penyetoran PBJT listrik Rejang Lebong.

Antisipasi Kebocoran PAD dari Pajak Listrik

Pemerintah Kabupaten Rejang Lebong menaruh perhatian serius terhadap potensi kebocoran Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT), khususnya pajak tenaga listrik. Tahun 2025, sektor ini ditargetkan menyumbang Rp10,5 miliar atau sekitar 85 persen dari total target PBJT sebesar Rp12,4 miliar.

Beban itu diserahkan kepada Perusahaan Listrik Negara (PLN) Unit Layanan Pelanggan (ULP) Curup sebagai pemungut pajak dari 70 ribu lebih pelanggan listrik di wilayah Rejang Lebong.

Namun, hingga 4 September 2025, realisasi baru Rp6,1 miliar atau 58 persen dari target. Dengan sisa waktu efektif hanya tiga bulan, kekhawatiran pun muncul. Tanpa langkah antisipasi yang jelas, target bukan hanya sulit dicapai, tapi juga rawan kebocoran.

Kabid Pendapatan BPKD Rejang Lebong, Oki Mahendra, SH

BPKD Ingatkan Peran PLN

Kepala Badan Pengelolaan Keuangan Daerah (BPKD) Rejang Lebong, Andi Ferdian, SE melalui Kabid Penagihan dan Pendapatan, Oki Mahendra, SH menegaskan pentingnya peran PLN ULP Curup dalam menjaga akurasi pemungutan pajak.

“PLN ULP Curup harus benar-benar maksimal membantu pemungutannya. Jangan sampai ada kebocoran PAD,” ujar Oki.

Menurutnya, capaian Rp6,1 miliar hingga awal September memang masih tertinggi dibandingkan sektor PBJT lainnya. Tetapi angka itu belum menjamin aman, mengingat beban target masih cukup berat.

Perda Tegaskan Aturan, Tapi Butuh Pengawasan

Sebagai dasar hukum, Pemkab Rejang Lebong telah menetapkan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Dalam aturan itu ditegaskan, tarif PBJT listrik sebesar 10 persen dari nilai tagihan bulanan pelanggan.

Bahkan, minimal 10 persen dari penerimaan pajak listrik wajib dialokasikan pemerintah daerah untuk penyediaan dan pemeliharaan Penerangan Jalan Umum (PJU). Artinya, jika terjadi kebocoran, bukan hanya kas daerah yang dirugikan, tapi juga langsung berdampak pada fasilitas publik.

Risiko Kebocoran di Ujung Tahun

Melihat tren penerimaan yang baru 58 persen hingga September, risiko kebocoran semakin nyata. Tanpa mekanisme pengawasan yang kuat, selisih antara target dan realisasi bisa melebar.

“Jangan sampai ada potensi kebocoran PAD hanya karena data tidak sinkron atau proses pemungutan tidak diawasi dengan baik,” tegas Oki.

Baca Juga: Regulasi Sidak Dapur MBG Dipersoalkan, Pihak Dapur Tak Mampu Tunjukkan Aturan Larangan

Ketua Komisi I DPRD Rejang Lebong, Hidayatullah

DPRD Soroti Transparansi Data

Sorotan juga datang dari DPRD Rejang Lebong. Anggota DPRD, Hidayatullah, S.Pd.I menegaskan bahwa kebocoran PAD bisa terjadi jika PLN tidak transparan dalam melaporkan perubahan data pelanggan listrik.

“Soalnya penetapan target dilakukan global untuk satu tahun. Sementara pemungutan dilakukan bulanan sesuai pembayaran tagihan. Kalau data pelanggan tidak diperbarui, realisasi bisa jauh dari target, bahkan berpotensi kebocoran,” kata Hidayatullah.

Ia menambahkan, ketidakcocokan data antara jumlah pelanggan dan nilai realisasi pemungutan bisa membuka celah penyimpangan. Karena itu, PLN diminta lebih proaktif berkoordinasi dengan Pemkab agar semua penerimaan tercatat jelas.

Evaluasi Menyeluruh Jadi Kebutuhan

Kritik DPRD menambah daftar pekerjaan rumah Pemkab Rejang Lebong. Evaluasi menyeluruh perlu dilakukan, mulai dari keakuratan data pelanggan, sistem pelaporan realisasi, hingga pola pengawasan lapangan.

“Kalau kebocoran tidak diantisipasi, daerah bisa kehilangan sumber pendapatan terbesar. Padahal pajak listrik ini menopang hampir seluruh target PBJT 2025,” ungkap Hidayatullah.

Publik Berhak Tahu

Selain pemerintah dan DPRD, masyarakat juga berhak mengetahui transparansi penerimaan pajak listrik. Sebab, dana yang terkumpul bukan hanya masuk ke kas daerah, tetapi juga dialokasikan untuk kebutuhan langsung masyarakat seperti penerangan jalan umum.

“Jika realisasi pajak tidak mencapai target, pelayanan publik bisa terdampak. Di titik inilah transparansi bukan sekadar kewajiban administratif, melainkan bentuk akuntabilitas kepada masyarakat,” tutup Hidayatullah.(**)

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

You must be logged in to post a comment Login

Leave a Reply