Nasional
Jika Hukum Ditegakkan, Sampai Lebaran Gurita, Ahok Tak Bisa Dipenjara

Melihat orang-orang yang datang ke Jakarta untuk berdemo hari ini, saya melihat tidak ada gunanya dan tidak jelas apa tuntutannya. Rizieq dan lain-lain selalu menuntut agar Presiden tidak boleh melindungi Ahok. Presiden sendiri sudah menjawab.
“Sebagai Presiden saya tidak akan melakukan intervensi apapun terhadap proses hukum, kalau tidak berjalan dengan baik baru saya turun tangan. Saya tidak melindungi Ahok, saya bertemu dengan Ahok dalam kaitan Sebagai Presiden dan gubernur saja,” ucap ketua umum PP Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar mengutip ucapan Presiden usai bertemu dengan Presiden Jokowi di Istana.
Kemudian ada juga tuntutan Ahok segera diproses hukum, pun sudah diproses. 22 saksi sudah diperiksa, termasuk si Rizieq. Semua tuntutan waras tersebut sudah dijawab. Malah yang memperlambat sebenarnya adalah FPI, Rizieq sendiri. Sebab meminta pengunduran pemeriksaan. Lalu kemarin teriak-teriak seolah paling benar sendiri ingin agar kasus ini dipercepat. Haha
Di luar tuntutan waras, ada juga tuntutan tidak waras. Mereka menuntut agar Presiden Jokowi segera memenjarakan Ahok.
“Yang kami minta pembuktian dari presiden, penjarakan Ahok, tangkap supaya ini menjadi pembelajaran, jangan sekali-kali menistakan agama,” kata Rizieq, usai diperiksa sebagai saksi ahli.
Pernyataan Rizieq ini cukup unik –kalau tak mau dibilang BODOH tingkat kebo. Sebab mereka meminta agar Presiden tidak melakukan intervensi hukum. Mereka menuntut hukum ditegakkan. Tapi di sisi lain mereka meminta Presiden menangkap dan penjarakan Ahok yang merupakan tindakan intervensi hukum. Kalau begini, maka sebenarnya Rizieq dan kawan-kawan ini menganut pemahaman mau menang sendiri.
Namun hikmahnya, kita semua jadi tahu bahwa demonstrasi ini bukan soal menuntut hukum ditegakkan, melainkan menuntut agar Ahok ditangkap. Sehingga konsekuensinya batal ikut Pilgub 2017 nanti.
Sejak awal saya menyebutkan bahwa demo ini soal politik, sama sekali bukan soal hukum apalagi agama Islam. Kalau masih ada yang berpikir bahwa ini soal penistaan agama, berarti anda belum pernah baca tulisan saya. Saya pernah menuliskan beberapa kali, namun yang ini mungkin lebih terinci : “Karena Setan Membohongi Kita Pakai Al-Qur’an Demi Kekuasaan”
Selanjutnya, dari sisi hukum, tuntutannya pun sangat-sangat lemah. Sampai lebaran kerbau pun sepertinya Ahok tidak bisa dipenjara hanya gara-gara ucapannya di kepulauan seribu.
Selama ini yang sering disebut pasal penodaan agama adalah pasal 156a KUHP, pasal yang bersumber dari Penetapan Presiden no 1 tahun 1965 tentang pencegahan penyalahgunaan dan atau penodaan agama. Dalam Penpres pasal 4 menyebutkan:
“dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan peasaan atau melakukan perbuatan:
- Yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;
- Dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan keTuhanan yang Maha Esa.”
Namun sebelum sampai pada pasal 4, ada pasal 1, 2 dan 3 yang perlu lebih dulu dibaca.
Pasal 1: dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum untuk melakukan penafsiran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu;
Pasal 2: barang siapa melanggar pasal 1 itu diberi perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu di dalam suatu keputusan bersama Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri.
Pasal 3: apabila, setelah dilakukan tindakan oleh Menteri Agama bersama-sama Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri atau oleh Presiden Republik Indonesia menurut ketentuan dalam pasal 2 terhadap orang, organisasi atau aliran kepercayaan, mereka masih terus melanggar ketentuan dalam pasal 1, maka orang, penganut, anggota dan pengurus organisasi yang bersangkutan dari aliran itu dipidana dengan pidana penjara selama lamanya lima tahun.
Sampai di sini jelas ya alurnya?
Jadi sebenarnya untuk kasos Ahok ini, jika hukum memang benar ditegakkan, sampai lebaran kerbau pun Ahok tak akan masuk penjara. Sebab jelas bahwa produk hukum ini terkait penistaan agama dan sekitarnya tidak mengedepankan jalur pidana. Mengapa begitu? Sebab dasar pembentukan Penpres no 1 tahun 1965 adalah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 tentang berlakunya kembali UUD 1945 dan penegasan Pancasila (awalnya: piagam Jakarta) sebagai dasar negara. Latar belakangnya karena muncul aliran oraganisasi kebatinan atau kepercayaan masyarakat yang bertentangn dengan ajaran dan hukum agama. Ini kalau dalam kitab suci Alquran namanya asbabun nuzul. Tujuan dari Penpres ini adalah pencegahan penyalahgunaan dan penyelewangan dari ajaran agama yang dianggap ajaran pokok oleh agama-agama sesuai “kepribadian bangsa Indonesia.”
Pemberian ancaman pidana yang diatur adalah proses lanjutan bagi mereka yang tetap mengabaikan. Dalam kasus Ahok, jika sesuai hukum, alurnya adalah: Ahok (dianggap) menistakan agama. Diberi peringatan atau teguran, bisa oleh NU atau Muhammadiyah sebagai representasi ummat Islam Indonesia. Kemudian Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri memberikan keputusan bersama. Kalau setelah proses tersebut Ahok masih tetap melakukan hal yang sama, maka kemudian berlakulah ancaman pidana.
Kenyataannya sekarang adalah, Ahok meminta maaf pada 10 Oktober 2016. Sementara pendapat dan sikap keagamaan MUI dibuat tanggal 11 Oktober. Artinya sebelum ditegur pun Ahok sudah meminta maaf. Untuk itu posisi hukumnya menjadi jelas bahwa Ahok tidak bisa disebut mengabaikan sehingga bisa dijerat pidana.
Kesimpulannya, jika memang ingin hukum ditegakkan, maka harus ikut prosedur hukum yang ada. Bukan meminta pada Presiden Jokowi untuk memenjarakan Ahok, itu namanya meminta Presiden melakukan intervensi hukum.
Begitulah kura-kura,
You must be logged in to post a comment Login