Opini
Indonesia Bangsa Kuli, Mental Inlander? Mengidolakan Bangsa Lain
Apa ada yang salah dengan “menjadi Barat “ atau “menjadi Arab”? Menjadi intelek tidak harus menjadi Barat dan menjadi alim-saleh tidak perlu menjadi Arab. Itulah opini Sumanto al Qurtuby berikut ini.
Sudah tidak terhitung lagi berapa kali Presiden Soekarno atau Bung Karno, sang proklamator kemerdekaan Republik Indonesia, dalam berbagai pidatonya yang khas menggelegar dan bergemuruh mengingatkan agar bangsa Indonesia jangan mau menjadi “bangsa kuli” dan menjadi kuli bangsa-bangsa lain (a nation of coolies and a coolie amongst nations).
Kini, sudah lebih dari tujuh puluh tahun Indonesia merdeka sejak Sang Proklamator berpidato berapi-api pada 17 Agustus 1945. Tetapi apa lacur, sampai setua ini, Bangsa Indonesia masih menjadi “bangsa kuli” dan “bermental inlander”. Bangsa yang hanya bisa “menyusu” kepada bangsa-bangsa lain. Bangsa yang hanya bisa membeo dan membebek terhadap bangsa-bangsa lain—baik “bangsa Barat” maupun “bangsa Timur”. Inikah “kutukan Bung Karno?”
Entahlah saya tidak tahu. Yang jelas hingga dewasa ini, bangsa yang yang sangat kaya raya dengan sumber alam yang melimpah-ruah, dengan warisan tradisi dan budaya leluhur yang beraneka ragam, dan dengan peninggalan sejarah yang menggunung dan “meng-samudra” ini belum juga mampu “naik kelas” menjadi “bangsa majikan”.
Mengidolakan bangsa lain
Alih-alih beranjak menjadi “bangsa majikan”, bangsa ini ironisnya malah bangga menyandang status sebagai “bangsa kuli” yang membanggakan dan mengidolakan bangsa-bangsa lain, sekaligus merendahkan martabat, sejarah, budaya, tradisi, bahasa, dan bangsanya sendiri. Lihatlah bagaimana tingkah-polah para anak-bangsa Indonesia yang merasa gagah-perkasa menjadi “kuli” bangsa-bangsa lain itu.
Satu sisi, ada segolongan masyarakat kita yang merasa gagah-perkasa “menjadi Barat” dengan membanggakan dan mengagung-agungkan sistem politiknya, struktur masyarakatnya, sistem budayanya, perekonomiannya, pendidikannya, tata-busananya, bahasanya, cara menyapa dan berkomunikasinya, dan sebagainya.
Sementara itu di sisi lain, ada sekelompok masyarakat yang juga tidak kalah fanatiknya dalam “mendewakan” Arab dan Timur Tengah. Para “Arab mania” ini, sebagaimana para “pecinta Barat”, juga cinta mati dengan hal-ikhwal yang berkaitan dengan dunia Arab: budayanya, bahasanya, busananya dan seterusnya.
Jika para “Barat lovers” merasa diri lebih intelek kalau sudah meniru-niru Barat, maka para “Arab cheerleaders” merasa diri lebih agamis, lebih alim, dan lebih Islami kalau sudah bergaya dan “berdandan” ala Arab. Para fans Arab ini selalu mengklaim apa yang mereka lakukan itu sebagai “nyunah Nabi” (yakni mengikuti praktek kehidupan keseharian Nabi Muhammad) meskipun pada praktekknya sebetulnya mereka itu mengikuti “sunah Arab”.
Bahkan memuja diktator
Ada lagi sekelompok masyarakat yang begitu mengelu-elukan Turki, lebih khusus lagi Recep Tayyip Erdogan: sang presiden diktator yang gila jabatan sekaligus bekas Perdana Menteri Turki dan walikota Istanbul. Bahkan ada pula yang gandrung (“cinta buta”) dengan budaya Korea Selatan misalnya “gaya joget” Gangnam, sebuah senam model K-pop ciptaan Psy (Park Jae-sang), seorang penyanyi, penulis lagu sekaligus produser, yang hitsnya sempat meledak di Indonesia.
Contoh lain lagi sebagai bukti kalau bangsa ini tidak lebih sebagai “kelas jongos” bangsa-bangsa lain misalnya dengan pendirian berbagai ormas keagamaan transnasional di Indonesia seperti Hizbut Tahrir, Jama’ah Tabligh, Ikhwanul Muslimin dan masih banyak lagi. Sebagian lagi rela menjadi “penyambung lidah“ para “ulama asing”.
Mengapa mengkafirsesatkan budaya sendiri?
Apakah ada yang salah dengan “menjadi Barat” atau “menjadi Arab”? Apakah ada yang keliru dengan mengidolakan bangsa-bangsa lain?
Tentu saja tidak ada yang salah. Setiap individu bebas untuk memilih dan menentukan pilihannya. Setiap individu juga memiliki hak untuk “menjadi Barat”, “menjadi Arab” atau menjadi bangsa lain. Masalahnya adalah mereka bukan hanya sekedar mengidolakan Barat atau mengkultuskan Arab tetapi sikap fanatisme mereka terhadap bangsa lain itu diiringi dengan tindakan menafikan dan bahkan merendahkan bangsanya sendiri.
Bahkan tragisnya para pengasong budaya Arab khususnya tidak segan-segan menggunakan idiom-idiom keislaman untuk membid’ahkan dan mengkafir-sesatkan berbagai warisan tradisi dan budaya lokal Indonesia warisan nenek-moyang dan para leluhur bangsa..
Tidak sebatas itu, mereka juga dengan gencarnya mengkampanyekan berbagai “budaya asing” itu di Indonesia. Sebagian kelompok “Arab mania” juga dengan gigihnya merendahkan dan bahkan mengkafir-sesatkan para ulama dan kiyai Indonesia yang begitu alim, sementara pada saat yang bersamaan mereka rela menjadi “budak pemikiran” para ulama Arab
Hargai bangsa sendiri
Padahal, jika kita sedikit cerdas mengamati dan menganalisa, meskipun dengan susah-payah kita berusaha sekuat tenaga “menjadi Barat” atau “menjadi Arab”, mereka—bangsa Arab dan bangsa Barat itu—tidak pernah melirik sedikitpun terhadap Indonesia.
Sepanjang perekonomian Indonesia belum membaik dan sepanjang mentalitas bangsa ini masih bermental inlander, maka selama itu pula bangsa ini akan menjadi obyek bukan subyek, penonton bukan pemain, kuli bukan majikan.
Oleh karena itu ketimbang menjadi “pelayan” Arab (atau Barat), maka kita akan jauh menjadi “makhluk bermartabat” di mata bangsa-bangsa lain, jika kita mengapresiasi produk-produk kebudayaan sendiri dengan tetap menghargai produk-produk kebudayaan asing. Menjadi intelek tidak harus menjadi Barat dan menjadi alim-saleh tidak perlu menjadi Arab.
Penulis:
Sumanto al Qurtuby, Senior Research Scholar, Middle East Institute, National University of Singapore, dan Dosen di King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi.
Opini
Apa Yang Melatarbelakangi Terbentuknya Kampung Pancasila
Desa Pancasila merupakan julukan desa yang menjadi contoh penerapan nilai-nilai Pancasila, apa yang melatarbelakangi terbentuknya kampung pancasila?
Istilah desa Pancasila digunakan di Kecamatan Lengkong Wetan, Kecamatan Tebing Tinggi, dan Desa Balun. Program Desa Pancasila dikembangkan dalam tiga fase, meliputi interpretasi, internalisasi, dan aktualisasi Pancasila.
Sedangkan proses implementasinya meliputi ranah sosial, budaya, dan keilmuan. Pemerintah memilih daerah yang dijadikan sebagai desa Pancasila berdasarkan tingkat toleransi beragama yang tinggi.
Lantas apa motivasi desa Pancasila? Simak ulasan berikut untuk mengetahui lebih lanjut.
Apa yang melatarbelakangi terbentuknya kampung pancasila
Berikut ini adalah sejarah Desa Pancasila. Misalnya penerapan praktis nilai-nilai luhur Pancasila dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat, atau sikap toleransi antar umat beragama.
Orang dapat hidup damai tanpa konflik meskipun keyakinan agama, etnis, dan budaya mereka berbeda. Masyarakat di wilayah desa Pancasila rukun. Desa Pancasila memiliki tujuan sebagai berikut. Apa yang melatarbelakangi terbentuknya kampung pancasila?
Mengembangkan media pembelajaran Pancasila bagi masyarakat luas, dan meningkatkan pemahaman di antara komunitas etnis Pancasila yang berbeda. Menanamkan nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika, menanamkan pemahaman bahwa seluruh rakyat Indonesia terpanggil untuk menerapkan sila pancasila.
Menanamkan rasa bahwa seluruh rakyat Indonesia diharapkan memberikan penghormatan dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada para pemimpin bangsa, karena telah menemukan dan menciptakan Pancasila sebagai dasar negara. Sudah paham apa yang melatarbelakangi terbentuknya kampung pancasila?
Hasil yang diharapkan dari program desa Pancasila adalah peningkatan kecerdasan masyarakat. Pancasila akan membantu membangun pribadi yang unggul melalui proses interpretasi, internalisasi, dan aktualisasi.
Pengembangan budaya melalui Pancasila juga akan menghasilkan kecerdasan spiritual. Perkembangan sosial akan menghasilkan kecerdasan emosional, dan perkembangan ilmiah kecerdasan intelektual.
Berikut adalah jawaban dari “apa yang melatarbelakangi terbentuknya kampung pancasila” semoga bermanfaat.
Baca Juga: Bagaimana Karakteristik Umum Dari Teks Prosedur
(Upy/G)
Nasional
SBY Ngetweet, Jokowi Datangi Proyek Mangkrak di Maluku
Presiden Jokowi memang suka sekali blusukan. Karena dengan begitu dia merasa selalu mendapat cerita dan masalah di lapangan, sehingga bisa langsung dicarikan solusinya.
Di sela-sela kunjungannya ke Maluku, semalam Presiden sempat berdiskusi dengan ketua dan anggota DPRD Maluku dan Kota Ambon. Salah satu hal yang paling dikeluhkan adalah krisis listrik. Baru semalam dikeluhkan, paginya Presiden merasakan sendiri mati listri selama beberapa jam.
Dari situ kemudian Presiden blusukan meninjau pembangkit listrik di Maluku. Tumpukan besi dan penuh dengan rumput seperti Hambalang. Hanya saja kali ini Presiden tak sempat geleng-geleng. Hanya menatap kosong proyek mangkrak yang seharusnya sudah dianggarkan sejak 2007 dan harusnya selesai pada 2011. Namun proyek senilai 800 milyar ini sekarang nasibnya nyaris sama seperti Hambalang.
Komentar Presiden pun nyaris sama saat geleng-geleng melihat Hambalang “Oleh karena itu saya memutuskan untuk melihat seperti apa kondisinya, apakah bisa dilanjutkan atau tidak. Tapi mengenai proses hukumnya saya belum tahu, akan saya cek dulu.”
Sementara Menteri ESDM Ignasius Jonan saat ditanya wartawan menjawab masih akan menanyakan kesanggupan PLN. Sebab memang tidak mudah untuk melanjutkan proyek mangkrak, terlebih dana yang diperlukan cukup banyak.
“Indonesia itu negara kepulauan, jadi tidak mungkin ada jaringan nasional. Bisa ada, tapi biayanya mahal dan tidak relevan. Karena itu setiap pulau harus punya pembangkit independen sendiri-sendiri,” kata Jonan.
Susahnya melanjutkan proyek mangkrak
Sebelumnya, ketika Presiden Jokowi meresmikan sebuah proyek, kerap dianggap hanya melanjutkan proyek SBY. Padahal kebanyakannya adalah proyek baru dan sebagian merupakan proyek mangkrak.
Patut menjadi catatan, bahwa melanjutkan proyek mangkrak itu bukan pekerjaan mudah. Perlu keberanian di atas rata-rata. Ini sama seperti menikahi orang yang sudah pernah bercerai (mangkrak). Perlu evaluasi, penelitian dan keberanian untuk melanjutkannya.
Sebab sebuah proyek yang belum selesai atau mangkrak, pasti memiliki masalah yang sangat serius di dalamnya. Sama seperti orang cerai, pasti ada masalah. Kalau tidak ada masalah harusnya rampung!
Contoh saja Hambalang, meski Presiden sudah pernah datang tahun lalu, menginstruksikan segera ambil keputusan dilanjutkan atau dijual alat-alat dan perabotan yang sudah terlanjur dibeli, sampai saat ini pun masih penuh perdebatan. Sebab kalau dibiarkan, negara sudah keluar uang banyak. Mau melanjutkannya masih perlu pendanaan lagi, ingin menggusur dan memanfaatkannya untuk hal lain pun perlu dana tambahan.
Begitu juga dengan pembangkit listrik di Maluku ini, pasti ada masalah serius. Beberapa bulan lalu KPK sudah menyatakan sedang mendalami satu persatu kasus mangkrak peninggalan SBY, yang salah satunya adalah pembangkit listrik di Maluku.
Entah karena masih ada masalah hukum atau perencanaannya belum selesai, yang jelas pembangkit listrik di Maluku ini sebenarnya direncanakan segera dimulai lagi pada 2016 lalu. Namun sampai sekarang belum ada yang berani menyentuh atau melanjutkannya. Memang cukup mengerikan melihat proyek senilai 800 milyar ini ternyata telah dicairkan setidaknya 71 persennya. Dan 3 kontraktor penerima dana tersebut sudah kabur sebelum pekerjaannya selesai.
Tweet SBY
Entah mengapa setiap langkah Jokowi selalu memiliki kebetulan-kebetulan yang menarik. Seperti SBY yang melakukan tour de Java karena ingin mendengar curhat masyarakat padahal terbalik, Jokowi tiba-tiba datang blusukan dan geleng-geleng di Hambalang.
SBY sempat ngetweet “Tugas pemimpin & generasi berikutnya adalah melanjutkan yang sudah baik & memperbaiki yang belum baik. Continuity & Change. *SBY*”
Kemarin SBY ngetweet, hari ini Jokowi datangi proyek mangkrak. Hahaha Luar biasa. Blusukan Jokowi melihat proyek mangkrak sangat sesuai dengan tweet SBY tentang melanjutkan dan memperbaiki. Sepertinya Presiden Jokowi dan Kapolri enggan ditanyai oleh SBY lagi.
Begitulah kura-kura.
Nasional
Aksi Demo 112, Strategi Akhir SBY dan Taktik Jitu Tito
FUI, FPI, HTI, GNPF – MUI sedang dilanda kepanikan hebat. SBY yang sangat yakin dengan strateginya, kini mengalami kebingungan. Strategi menjegal Ahok gagal total. Demo-demo besar yang sudah dilancarkan ternyata sia-sia. Pun doa hebat dengan bumbu nasi tumpeng ala Habiburokhman agar Ahok cuti selamanya, ternyata gagal terkabul. Sabtu depan, 11 Februari, Ahok dipastikan kembali aktif menjadi gubernur.
Kalapnya SBY dilampiaskan dengan curhat lewat cuitan di Twitter. SBY pun berbalik menggunakan lagi strategi melodrama dan melankolis untuk menghantam strategi Ahok yang didukung oleh berbagai macam pihak. Pada Die Natalis Demokrat kemarin, SBY hanya bisa bernostalagia dengan bahasa teratur nan sistematis berutopi menyindir berbungkus wake up call kepada Jokowi. Sindiran lebay SBY itu hanya dijawab dengan bermain futsal oleh Jokowi bersama dengan menteri-menterinya.
Kini Jokowi dan The Invincible hand sedang tertawa terkekeh, terbahak-bahak dan termehek-mehek, menyaksikan upaya terakhir para lawan-lawan Ahok lewat rencana demo berbungkus doa dan jalan santai 112. Demo 112 dan seterusnya, sudah dicium baum amisnya oleh Tito. Bisa dipastikan bahwa Tito akan kembali menggiring demo-demo itu menjadi ucapan lantunan doa di Masjid Istiglal.
Gelombang kesadaran, rebound consciousness, terbukti telah kembali muncul dengan dukungan mengalir kepada Ahok. Pasca terpuruk di dasar jurang, Ahok secara meyakinkan telah kembali bangkit. Hal itu disebabkan oleh kegagalan SBY menggoreng elektabilitas Agus lewat survei dan penggiringan opini buruk terhadap Ahok.
Ide konyol Agus tentang kota terapung, membangun tanpa menggusur, namun terakhir menggeser sedikit, menghidupkan BLT dan seterusnya, semakin meyakinkan publik bahwa Agus adalah fotokopinya SBY. Publik mendapat kesan bahwa Agus memiliki kecenderungan seperti SBY sebagai sosok yang tidak tegas, peragu dan tak nyambung. Publik memahami bahwa dalam membuat kebijakan di DKI, sosok seperti Agus hanya akan menghasilkan kebingungan dan kegalauan birokrasi.
Agus yang gaya bicaranya mengambang dan menghapal materi debat dilihat oleh publik DKI sebagai sosok yang tidak mampu memimpin Jakarta. Ditambah dengan calon wakilnya Sylvi yang tersangkut korupsi akan semakin membuat warga DKI menjauhi Agus dan SBY. Publik Jakarta tidak mau kalau kota mereka akan kembali menjadi kota rimba, kota mafia, kota para koruptor selama lima tahun ke depan. Oleh karena itu sampai kiamatpun, Agus tak akan menang di Pilgub DKI 2017. Agus akan tersingkir. Lalu bagaimana dengan Anies?
Kubu Prabowo yang terpaku pada kesantunan Anies tak berhasil menghapus dalam ingatan publik bahwa Anies yang tak becus menjadi menteri dipecat oleh Presiden Jokowi. Anies Baswedan yang awalnya menjanjikan dan akan dijadikan manusia yang dizalimi oleh Presiden Jokowi karena dipecat, justru makin menunjukkan diri tidak berkualitas. Ternyata Jokowi sama sekali tidak menzalimi Anies. Anies memang tidak becus dan layak dipecat.
Kualitas Anies bisa dilihat dari debat dan program-program awang-awangnya. Dalam debat Anies Baswedan gagal menunjukkan kemampuan kualitas manajerial dan intelektualitasnya dengan aneka jawaban yang hanya berupa utopi dan sindiran. Anies hanya mengambar-gemborkan subisidi dan gratis ini dan itu yang disimpulkan dengan up-grade manusia dan lukisan kampung indahnya di bantaran sungai.
Bisa dipastikan bahwa masyarakat Jakarta tidak akan tergerak hatinya memilih calon yang kemampuan manajerialnya rendah dan kalah sama Menteri Susi. Anies diyakini tidak mampu mengurusi Jakarta dengan segudang problematikanya. Hal itu bisa dilihat ketika Anies tidak becus mengurusi satu kementerian saja. Anies diyakini dan dipastikan tidak mampu menjadi Gubernur DKI Jakarta yang berhasil. Apalagi Anies melakukan blunder dengan mengunjungi dan bermesraan dengan FPI yang sarat dengan kontroversial.
Kegagalan strategi SBY untuk mengorbitkan Agus dan Prabowo untuk mengangkat Anies melawan Ahok, menjadi semakin terperosok oleh strategi menjepit ala Tito. Tindakan tegas Tito yang didukung oleh TNI untuk menetapkan Rizieq FPI sebagai tersangka jelas telah membuat SBY gundah gulana.
Begitu cepat Rizieq FPI jatuh membumi dari euforia kemenangan yang melambung setinggi langit. Ternyata Rizieq yang dua bulan lalu melambung di langit ketujuh, dengan mudah ditetapkan sebagai tersangka penistaan pancasila. Sikap tegas Tito ini telah membuat nyali SBY ciut. Ke depan bisa dipastikan bahwa satu persatu tokoh-tokoh persekutuan gelap akan ditekuk oleh Tito.
SBYpun kini terlihat semakin panik ketika orangnya di Mahkamah Konstitusi, Patrialis Akbar dicokok KPK. Sekarang di MK tidak ada lagi kaki tangannya yang bisa dimanfaatkan jika ada sengketa Pilkada. Maka satu-satunya skenario akhir yang ditunjukkan oleh SBY adalah aksi melodramanya sebagai sosok yang dizalimi.
Penetepan Rizieq FPI sebagai tersangka, ditambah dengan kasus heboh dahsyat kasus firza hots, plus ditekuknya Munarman dan sekarang Backhtiar Natsir dalam bidikan Tito, telah membuat warga DKI Jakarta berbalik dari jangkauan Anies. Jelas masyarakat Jakarta banyak yang tidak suka dengan FPI. Dan karena Anies telah bermesraan dengan FPI, maka warga Jakarta menjauh dari Anies.
Demo yang berbungkus doa dan jalan santai tanggal 11 Februari ke depan, bisa dipastikan akan dikendalikan penuh oleh Polri dan TNI. Apalagi demo-demo itu jumlahnya sudah jauh menyusut akan memudahkan Polri dan TNI mengawasinya. Menjelang hari pencoblosan popularitas Ahok dipastikan akan terus naik. Apalagi pada hari Sabtu mendatang, Ahok akan kembali secara resmi menjadi gubernur DKI Jakarta.
Kini kepusingan, sakit kepala, panik dan galau melanda SBY. Ternyata Ahok gagal ditahan, gagal dipenjara dan gagal dijegal. Ia kemudian hanya bisa bernyanyi lagu anak muda ‘Munajat Cinta’ dengan refren yang diubah: ‘Tuhan kirimkan aku gubernur yang baik, Agus, eh ternyata Ahok’. Sementara demo 112 akan diteriakin dengan kencang oleh Tito dengan bunyi: ‘dilarang berdemo di masa tenang bro’.
Begitulah kura-kura.
-
Daerah9 tahun ago
Beredar Foto Seronok di Duga Siswi SMK Kandeman Kabupaten Batang
-
Sejarah9 tahun ago
Sejarah Bahasa Indonesia Dan Asal-Usulnya
-
Opini9 tahun ago
Umat Islam Diambang Kehancuran?
-
Dunia5 tahun ago
Ternyata ini rahasia utama belut listrik bisa keluarkan listrik mematikan
-
Internet5 tahun ago
Apa Itu Bisnis RT RW Net? Prinsip Dasar dan Potensinya
-
Seni Tari9 tahun ago
Tari Topeng Cirebon dan Makna Dibaliknya
-
wisata5 tahun ago
Perbedaan Bunga Rafflesia dan Bunga Bangkai | Bengkulu
-
Nasional8 tahun ago
Kenapa Sari Roti Diboikot? Karena Membongkar Kebohongan Mereka
fredy sanako
September 30, 2016 at 3:51 pm
Salut buat profesor,,, teruslh menulis jgn pernah brhenti.. Bangsa ini butuh orang sprti anda… Kritis, inspiratif dan mendidik…