Sosial Budaya
Belum ke Flores Kalau Belum Tenggak Moke atau Sopi

Jangan dulu bangga sudah pernah menginjakkan kaki di tanah Flores, jika belum meneguk minuman beralkohol masyarakatnya. Selain menikmati keindahan alam sembari menyelami pesan atraksi budaya yang mengagungkan, terasa lebih lengkap bila sudah menikmati sensasinya yang berani minuman khas Flores.

Seorang bapak di Nuabosi Ende sedang memukul-mukul pangkal buah enau. Foto: Roman Rendusara
Di Flores sangat mudah mendapatkannya, ketimbang di beberapa daerah lain justru menjadi target operasi pihak berwenang. Ketika melintas jalur Aimere hingga Waelengga, di daerah perbatasan Kabupaten Ngada dan Manggarai Timur, misalnya, saya hampir terkecoh saat membeli bensin. Di pinggir jalur itu, kiri dan kanan memajang beberapa botol, dengan diisi air jernih. Sama jernih dengan bensin eceran tanpa campuran.
Botol-botol berasal dari bekas botol minuman air dalam kemasan. Berukuran 1500 ml dan 600 ml. Harga tergantung ukuran botol, juga kualitasnya. Tentu semakin tinggi kadarnya makin tinggi pula harganya. Kualitas kadang tidak ada standar, tergantung rasa, aroma dan efeknya terhadap seseorang yang minum, dengan kadar alkohol yang berbeda pula.

Tungku untuk memasak nira. Foto: Roman Rendusara
Masyarakat menyebutnya arak, hasil proses penyulingan tuak atau aren. Flores bagian tengah dikenal dengan ‘moke’. Orang Manggarai menyebutnya ‘sopi’. Orang Maumere lebih menyebutnya ‘BM’ (Bakar Menyala). Beberapa tempat di Ngada sering menyebutnya ‘ciu’, sekaligus menunjuk pada ajakan untuk meminumnya bersama-sama.

Pangkal buah enau yang siap diiris. Foto: Roman Rendusara
Saya membatasi tulisan ini pada jenis arak yang berasal dari pohon enau. Tumbuhan jenis palma (Arenga pinnata) ini juga kami sering menyebutnya pohon ijuk. Batang pohonnya kukuh, dibalut serabut hitam. Serabut hitam ini sebagai bahan ijuk.
Sejak kecil saya sudah diingatkan, tidak boleh bertanya-tanya atau mengajak bicara bila bertemu pembuat arak sedang memukul-mukul pangkal tandan di atas pohon enau. Entah sebatas mitos, katanya, nanti niranya tidak mau keluar. Sore itu saya patuh menuruti nasihat sang kakek. Saya cukup menyaksikan dengan diam. Tidak ada suara terdengar, selain bunyi pemukul sebesar pentung permainan kasti itu, dan seirama jarum detik.

Cirigen tempat menaruh nira. Foto: Roman Rendusara
Beberapa hari kemudian pangkal tandan siap diiris, dengan pisau khusus yang sangat tajam. Nira pun keluar setetes demi setetes. Wadah penampung nira kami namakan ‘bhoku’, (Bahasa Ende) dari seruas bambu. Digantung saja di atas pohon enau hingga menunggu penuh. Sehari kemudian baru dicek. Jika sudah terisi penuh dan niranya tidak menetes lagi, maka ‘bhoku’ diturunkan.
Nira dituangkan dalam wadah penampung. Kami menyebutnya ‘po’o’, dari tiga hingga empat ruas bambu. Seiring perkembangan zaman, ‘po’o’ ditinggalkan. Lebih mudah ditampung dalam jirigen ukuran jumbo. Sambil menunggu proses penyulingan.

Meneguk arak ditemani ikan kuah asam terasa ‘nendang’. Foto: Roman Rendusara
Proses penyulingan menjadi arak dilakukan di kebun. Terdapat pondok khusus disiapkan. Nira dimasukan ke dalam belanga besar, periuk dari tanah liat. Selama proses pemasakan, belanga ditutup dengan bambu yang sudah dilubangkan bukunya. Seukuran diameter 5 cm dan membentuk seperti pipa sepanjang tiga sampai lima meter.
Di ujung pipa bambu digantungkan sebuah botol kaca untuk menadah setetes demi setetes uap yang mengembun. Proses penyulingan telah selesai. Arak lalu disimpan dalam sebuah tembikar dari tanah, dan siap diminum.

Roman Rendusara, nama pena. Lengkapnya, Oswaldus Romanus M. Tinggal di kampung Kepi, Desa Rapowawo, Kec. Nangapanda, Ende Flores NTT. SDK Kekandere 2 dan Seminari Todabelu Ngada tempat saya menimba ‘sapientia et virtus’. Sempat belajar filsafat di STF Driyarkara, lalu hijrah ke Ekonomi di UNKRIS-Jakarta. Beberapa kisah tercecer pernah tertuang di HU Flores Pos dan media lokal lain.
Untuk menghasilkan arak yang lebih berani, biasanya sebelum dimasak, nira dibumbui beberapa ramuan, yang berasal dari daun dan kulit pohon tertentu. Sangat jarang para pembuat ‘moke’ membagi resep dan tips kepada orang lain.
Sebotol arak seukuran 620 ml dijual seharga Rp 25.000 atau lebih. Ia sangat laris. Terlebih musim pesta dan upacara adat. Selain untuk bersenang-senang dan meringankan sentak-sentakan berirama ja’i (tarian khas Ngada), arak juga simbol kebersamaan, kekuatan dan keramahan. Seperti di wilayah Manggarai, sebotol arak berguna dalam acara ‘kepok’ (sapaan dengan bahasa adat saat menerima tamu terhormat).
Beberapa petani di Flores sangat mengandalkan pohon enau sebagai penopang kebutuhan ekonomi. Juga untuk menyekolahkan dan membiayai kuliah anak-anak. Walau demikian beberapa petani melihat profesi ini sebagai sampingan. Hanya untuk membunuh waktu di sela-sela berkebun dan berladang.
You must be logged in to post a comment Login